BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangGenerasi muda merupakan salah satu elemen utama penerus dan regenerasi bangsa. Masa muda adalah proses peralihan masa kanak-kanak menuju masa dewasa, suatu masa yang paling menentukan perkembangan manusia di bidang emosional, moral, spiritual, dan fisik. Pada hakekatnya seseorang yang tengah memasuki tahap remaja memiliki karakteristik mental yang tengah labil. Siswa-siswi Sekolah Menengah Pertama (SMP) maupun yang berada pada tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA), adalah usia di mana seorang individu yang berada dalam masa atau tahap peralihan. Tak jarang ditemui banyak kaum muda kehilangan pegangan dalam usaha menemukan dirinya. Dalam masa ini kaum muda membutuhkan pendampingan yang intensif dari orang yang lain yang lebih dewasa. Oleh karena itu sangat dibutuhkan layanan bimbingan dan konseling, sebagai pedamping siswa agar tidak salah langkah dalam bersikap dan bertingkah laku.
Namun karena ketidaktahuan siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling disekolah, menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Misalnya BK hanya dianggap polisi sekolah. Kesalahpahaman itu menyebabkan siswa tidak dekat dengan guru BK. Ketidakdekatan itu membuat siswa yang mempunyai masalah merasa malu dan takut untuk menceritakan masalahnya kepada guru BK seorang diri. Oleh karena itu dengan pengenalan layanan konseling kelompok diharapkan dapat mengurangi rasa malu dan takut itu dapat dihilangkan.
2
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan yang ada dalam latar belakang di atas, ada beberapa rumusan masalah yang perlu dikaji lebih dalam, diantaranya:
a. Bagaimana cara membuat guru dan siswa menjadi dekat, yang pada akhirnya dapat membantu siswa dalam penanganan masalah yang dihadapi oleh siswa.
b. Bagaimana cara pengenalan layanan konseling bagi siswa agar lebih tertarik menggunakan layanan ini?
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pembuatan makalah ini adalah:
“Siswa tidak malu dan takut lagi menggunakan layanan konseling yang ada di sekolah, sehingga penanganan permasalahan yang dihadapi oleh siswa dapat teratasi dengan proses yang menyenangkan”
1.4 Manfaat
Makalah yang berjudul “Layanan Konseling Kelompok di Sekolah” diharapkan dapat memenuhi manfaat secara teoritis dan praktis.
1.4.1 Manfaat secara teoritis
Menambah wawasan, pengetahuan tentang upaya meningkatkan penanganan permasalahan siswa melalui pengenalan layanan konseling kelompok
1.4.2 Manfaat secara praktis
Dapat memberikan pemahaman tentang proses konseling kelompok, dan dinamika interaksi sosial yang intensif terjadi dalam suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial pada umumnya, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, tenggang rasa, serta layanan konseling kelompok dapat merupakan wilayah penjajagan awal bagi siswa untuk memasuki layanan konseling perorangan.
3
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian2.1.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh seorang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku (Mugiarso,2009).
Secara etimologis. Istilah konseling berasal dari bahasa Latin, yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan kata “menerima” atau “memahami”. Konseling menurut Mugiarso,dkk (2009 : 5) adalah suatu proses pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang ahli (yang disebut konselor) kepada individu yang sedang mengalami masalah (disebut klien) yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi oleh kllien.
Sedangkan menurut Gladding dalam Lesmana (2005 : 4) “Counseling is a relatively short-term, interpersonal, theory-based, professional activity guided by ethical and legal standarts that focuses on helping persons who are basically psychologically healthy to resolve developmental and situational problems”
Jadi bimbingan dan konseling adalah layanan yang diberikan kepada individu guna membantu memecahkan masalah yang dihadapi sehingga individu dapat mengemnbangkan kemampuan dirinya secara optimal.
4
2.1.2 Pengertian Konseling Kelompok
Menurut Latipun (2008 : 178) konseling kelompok (group counseling) merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar.
Sedangkan layanan konseling kelompok yang diungkapkan oleh Mugiarso, dkk (2009 : 69) merupakan layanan konseling yang diselenggarakan dalam suasana kelompok.
2.2 Kesalahpahaman Bimbingan dan Konseling di Sekolah
Kesalahpahaman tentang bimbingan dan konseling ini sering terjadi di sekolah-sekolah. Hal ini dapat terjadi karena literatur yang memberikan wawasan, pengertian, dan berbagai seluk beluk teori dan praktek bimbingan dan konseling yang dapat memperluas dan mengarahkan pemahaman masih kurang. Adapun beberapa kesalahpahaman dalam BK menurut Prayitno (1999 : 121) yaitu:
1. Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
2. Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah.
3. Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat.
4. Bimbingan dan konseling dibatasi pada hanya menangani masalah yang bersifat insidental
5. Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-klien tertentu.
6. Bimbingan dan konseling melayani orang sakit dan/atau kurang normal.
7. Bimbingan dan konseling bekerja sendiri.
8. Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif.
9. Menganggap pekerjaan bimbingan dan konseling dapat dilakukan siapa saja.
10. Pelayanan bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja.
5
11. Menyamakan pekerjaan bimbingan dan konseling dengan pekerjaan dokter atau psikiater.
12. Menganggap hasil pekerjaan bimbingan dan konseling harus segera dilihat.
13. Menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien.
14. Memusatkan usaha bimbingan dan konseling hanya pada penggunaan instrumentasi bimbingan dan konseling (misalnya tes, inventori, angket, dan alat pengungkap lainnya.)
Dari berbagai kesalahpahaman di atas yang paling biasa terjadi di sekolah yaitu konselor yang dianggap sebagai polisi sekolah. Polisi yang bertugas menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah serta menghukum semua yang bersalah, baik hukuman fisik maupun hukuman lainnya. Tanggapan inilah yang membuat siswa takut dan tidak mau dekat dengan konselor. Konselor di satu pihak di anggap sebagai “keranjang sampah”, yaitu tempat ditampungnya siswa-siswa yang rusak atau tidak beres, dilain pihak dianggap sebagai “manusia super” yang harus mengetahui dan dapat mengungkapkan hal-hal yang musykil yang melatarbelakangi suatu kejadian atau masalah.
Berdasarkan pandangan di atas, adalah wajar bila siswa tidak mau datang kepada konselor karena menganggap bahwa dengan datang kepada konselor berarti menunjukkan aib, ia mengalami ketidakberesan tertentu. Padahal di sekolah konselor haruslah menjadi teman dan kepercayaan siswa. Disamping petugas-petugas lainnya di sekolah, konselor hendaknya menjadi tempat curahan kepentingan siswa, pencurahan apa yang terasa di hati dan terpikirkan oleh siswa.
2.3 Beberapa Pendekatan Kelompok
Ada beberapa pendekatan-pendekatan kelompok di antaranya sebagai berikut:
1. Psikoterapi Kelompok
6
Psikoterapi kelompok merupakan bantuan yang diberikan oelh psikoterapis terhadap peserta didik untuk mengatasi disfungsi kepribadian dan interpersonalnya dengan menggunakan interaksi emosional dalam kelompok kecil. Psikoterapi ini memfokuskan pada ketidaksadaran dalam menangani peserta didik.
2. Konseling Kelompok
Konseling kelompok merupakan kelompok terapeutik yang dilaksanakan untuk membantu peserta didik mengatasi masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Konseling kelompok umumnya ditekankan untuk proses remedial dan pencapaian fungsi-fungsi secara optimal.
3. Kelompok Latihan dan Pengembangan
Kelompok latihan dan pengembangan merupakan pendidikan kesehatan mental dan bukan kelompok terapeutik. Biasanya digunakan untuk melatih sekelompok orang yang berkeinginan untuk meningkatkan kemampuan dan ketrampilan tertentu.
4. Diskusi Kelompok Terfokus
Diskusi kelompok terfokus (fokus group discusition) merupakan kegiatan diskusi, tukar pikiran beberapa orang mengenai topik-topik khusus yang telah disepakati oleh anggota kelompok. Topik-topik yang dibicarakan menjadi bahan yang diminati dan disepakati oleh anggota kelompok.
5. Self-help
Self-help merupakan forum kelompok yang dijalankan oleh beberapa orang (sekitar 4-8 orang) yang mengalami masalah yang sama, dan mereka berkeinginan untuk saling tukar pikiran dan pengalaman sehubungan dengan cara mengatasi masalah yang dihadapi, dan cara mengembangkan potensinya secara optimal
7
2.4 Manfaat dan Keterbatasan Konseling Kelompok
Pendekatan konseling kelompok ini sangat banyak memberikan manfaat, diantaranya:
a. Membantu siswa memecahkan masalahnya.
b. Dengan interaksi sosial yang intensif dan dinamis selama berlangsungnya layanan konseling diharapkan tujuan-tujuan layanan (yang sejajar dengan kebutuhan-kebutuhan siswa anggota kelompok) dapat tercapai secara mantap.
c. Dapat merupakan wilayah penjajagan awal bagi siswa untuk memasuki layanan konseling perorangan.
d. Dinamika interaksi sosial yang secara intensif terjadi dalam suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial pada umumnya, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, tenggang rasa atau teposliro.
Selain dari manfaat yang dipetik dalam layanan konseling kelompok juga terdapat keterbatasan, yaitu:
a. Setiap siswa perlu berpengalaman konseling individual, baru bersedia memasuki konseling kelompok.
b. Konselor akan menghadapi masalah yang lebih kompleks pada konseling kelompok dan konselor secara spontan harus dapat memberi perhatian kepada anggota kelompok.
c. Kelompok dapat terhenti karena masalah “proses kelompok”. Waktu yang tersedia tidak mencukupi dan membutuhkan waktu yang lebih lama dan ini dapat menghambat perhatian terhadap anggota kelompok.
d. Kekurangan informasi individu yang mana yang lebih baik ditangani dengan konseling kelompok dan mana yang sebaiknya ditangani dengan konseling individual.
e. Seseorang sulit dipercaya kepada anggota kelompok, akhirnya perasaan, sikap, nilai, dan tingkah laku tidak dapat di”bawa” ke situasi kelompok.
8
2.5 Struktur Dalam Konseling Kelompok
Konseling kelompok memiliki struktur yang sama dengan terapi kelompok pada umumnya. Striktur yang dimaksud yaitu menyangkut orang yang terlibat dalam kelompok, jumlah orang yang menjadi partisipan, banyak waktu yang diperlukan, dan sifat kelompok.
1. Jumlah anggota kelompok
Konseling kelompok umumnya beranggota antara 4-12 orang. Bila anggota kelompok kurang dari 4, maka kurang efektif karena dinamika kelompok menjadi kurang hidup. Bila anggota kelompok lebih dari 12 orang akan terlalu berat dalam pengelolaan kelompok.
2. Homogenitas kelompok
Penentuan homogenitas keanggotaan ini disesuaikan dengan keperluan dan kemampuan konselor dalam mengelola konseling kelompok.
3. Sifat kelompok
Sifat kelompok dapat terbuka dan tertutup. Terbuka bila pada suatu saat dapat menerima anggota baru, dan dikatakan tertutup jika keanggotaannya tidak memungkinkan adanya anggota baru. Pertimbangan penggunaan keanggotaan terbuka dan tertutup bergantung pada keperluan.
4. Waktu pelaksanaan
Lama waktu penyelenggaraan konseling kelompok sangat bergantung pada kompleksitas permasalahan yang dihadapi kelompok. Secara umum konseling kelompok yang bersifat jangka pendek (short term group counseling) membutuhkan waktu pertemuan antara 8-20 pertemuan dengan frekuensi pertemuan antara satu sampai tiga kali dalam seminggunya, dan durasinya antara 60-90 menit tiap pertemuan.
2.6 Pedoman Melakukan Konseling Kelompok
Rabichow & Sklansky (1980) mengemukakan pedoman untuk melakukan konseling pada remaja (siswa) secara efektif:
9
a. Pertemuan pertama harus ditandai dengan ekspresi senang saat bertemu dengan remaja (siswa).
b. Karena kebanyakan remaja merasa tidak dipahami oleh orang dewasa, sasaran pertama haruslah membentuk hubungan yang dilandasi rasa percaya dengan cara mendengarkan, menunjukkan respek dan kehangatan, empatik dan jujur.
c. Sejak awal konselor harus dapat menyampaikan adanya harapan untuk tercapainya kepuasan dengan remaja.
d. Pertanyaan mengenai konseling harus dijawab secara langsung dan jujur. Harapan dari klien harus terbuka.
e. Jangan memberikan nasehat bila tidak diminta.
f. Penekanan pada pengembangan konsep diri.
g. Konfrontasi harus dilakukan secara positif, selalu memberi kesempatan kepada remaja untuk “menyelamatkan muka”
2.7 Materi Layanan Konseling Kelompok
Materi layanan konseling kelompok dalam bidang-bidang bimbingan meliputi:
1. Layanan konseling kelompok dalam bidang bidang bimbingan pribadi meliputi penyelenggaraan konselling kelompok yang membahas dan mengentaskan masalah pribadi siswa yaitu berkenaan dengan:
a) Kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
b) Pengenalan dan penerimaan perubahan, pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri.
c) Pengenalan tentang kekuatan diri sendiri, bakat dan minat serta penyaluran dan pengembangannya.
d) Pengenalan tentang kelemahan diri sendiri dan upaya penanggulangannya.
e) Kemampuan mengambil keputusan dan pengarahan diri sendiri
f) Perencanaan dan penyelenggaraan hidup sehat.
10
2. Layanan konseling kelompok dalam bidang bimbingan sosial meliputi penyelenggaraan konseling kelompok yang membahas dan mengentaskan masalah sosial siswa yaitu berkenaan dengan:
a) Kemampuan berkomunikasi serta menerima dan menyampaikan pendapat secara logis, efektif dan produktif.
b) Kemampuan bertingkah laku dan berhubungan sosial (di rumah, sekolah, dan masyarakat dengan menjunjung tinggi tata krama, norma dan nilai-nilai agama, adat-istiadat dan kebiasaan yang berlaku).
c) Hubungan dengan teman sebaya (di rumah, sekolah, dan masyarakat)
d) Pemahaman dan pelaksanaan disiplin dan peraturan sekolah.
e) Pengenalan dan pengamalan pola hidup sederhana yang sehat dan bergotong-royong.
3. Layanan konseling kelompok dalam bidang bimbingan belajar meliputi penyelenggaraan konseling kelompok yang membahas dan mengentaskan masalah belajar siswa yaitu berkenaan dengan:
a) Motivasi dan tujuan belajar dan latihan
b) Sikap dan kebiasaan
c) Kegiatan disiplin belajar serta berlatih secara efektif efisien dan produktif.
d) Penguasaan materi pelajaran dan latihan/ketrampilan.
e) Ketrampilan teknis belajar.
f) Pengenalan dan pemanfaatan kondisi fisik, sosial, dan budaya disekolah dan di lingkungan sekitar.
g) Orientasi belajar di perguruan tinggi.
4. Layanan konseling kelompok dalam bimbingan karir meliputi penyelenggaraan konseling kelompok yang membahas dan mengentaskan masalah karir siswa yaitu berkenaan dengan:
a) Pilihan dan latihan ketrampilan
11
b) Orientasi dan informasi pekerjaan/karir, dunia kerja dan upaya memperoleh penghasilan.
c) Orientasi dan informasi lembaga-lembaga ketrampilan sesuai dengan pilihan pekerjaan dan arah pengembangan karir.
d) Pilihan orientasi dan informasi perguruan tinggi sesuai dengan arah pengembangan karir.
2.8 Tahapan Konseling
Konseling kelompok dilaksanakan secara bertahap yaitu tahap pembentukan kelompok, tahap permulaan, tahap transisi, tahap kerja, tahap akhir, serta tahap evaluasi dan tindak lanjut.
1. Tahap pembentukan kelompok
Tahap ini merupakan tahap persiapan pelaksanaan konseling kelompok. Pada tahap ini terutama pembentukan kelompok dilakukan dengan seleksi anggota dan menawarkan program kepada calon anggota peserta konseling sekaligus membangun harapan kepada calon peserta.
Adapun ketentuan yang mendasari penyelenggaraan konseling jenis ini adalah:
a. Adanya minat bersama (common interest).
b. Suka rela atau atas inisiatif sendiri.
c. Adanya kemauan untuk berpartisipasi di dalam proses kelompok
d. Mampu untuk berpartisipasi di dalam proses kelompok.
2. Tahap permulaan (orientasi dan eksplorasi)
Pada tahap ini mulai menentukan struktur kelompok, mengeksplorasi harapan anggota, anggota mulai belajar fungsi kelompok, sekaligus mulai menegaskan tujuan kelompok. Secara sistematis pada tahap ini langkah yang dilakukan adalah perkenalan, agenda (tujuan yang ingin dicapai) norma kelompok, dan penggalian ide dan perasaan. Jadi tahap permulaan ini anggota memulai menjalin hubungan sesama anggota kelompok.
12
3. Tahap transisi
Pada tahap ini diharapkan masalah yang dihadapi masing-masing klien durumuskan dan diketahui apa sebab-sebaaabnya. Anggota mulai terbuka, tetapi sering terjadi pada fase ini justru terjadi kecemasan, resistensi, konflik, dan bahkan ambivalensi tentang keanggotaannya dalam kelompok, atau enggan jika harus membuka diri. Tugas pemimpin kelompok adalah mempersiapkan mereka bekerja untuk dapat merasa memiliki kelompoknya.
4. Tahap kerja
Jika masalah yang dihadapi oleh masing-masing anggota kelompok diketahui, langkah berikutnya adalah menyusun rencana-rencana tindakan. Penyusunan tindakan ini disebut pula produktivitas (productivity). Kegiatan konseling kelompok terjadi yang ditandai dengan: membuka diri lebih besar, menghilangkan defensifnya, terjadinya konfrontasi antar anggota kelompok, modeling, belajar perilaku baru, terjadi transferensi. Kohesivitas terbentuk, mulai belajar bertanggung jawab, tidak lagi mengalami kebingungan. Anggota merasa berada dalam kelompok, mendengar yang lain dan terpuaskan dengan kegiatan kelompok.
5. Tahap akhir
Anggota kelompok mulai mencoba melakukan perubahan-perubahan tingkah laku dalam kelompok. Setiap anggota kelompok memberi umpan balik terhadap yang dilakukan oleh anggota yang lain. Umpan balik ini sangat berguna untuk perbaikan (jika diperlukan) dan dilanjutkan atau diterapkan dalam kehidupan anggota kelompok jika dipandang telah memadai. Terjadi mentransfer pengalaman dalam kelompok dalam kehidupan yang lebih luas. Jika ada anggota kelompok yang memiliki masalah dan belum terselesaikan. Jika semua peserta merasa puas dengan proses konseling kelompok, maka konseling kelompok dapat diakhiri.
13
6. Tahap evaluasi dan tindak lanjut
Setelah berselang beberapa waktu, konseling kelompok perlu dievaluasi. Tidak lanjut dilakukan ternyata ada kendala-kendala dalam pelaksanaan di lapangan. Mungkin diperlukan upaya perbaikan terhadap rencana-renana semula, atau perbaikan terhadap cara pelaksanaannya.
2.9 Faktor Kuratif
Untuk mencapai maksud dan tujuan konseling, ada elemen yang harus diciptakan dan terjadi selama proses konseling. Elemen tersebut oleh Yalom dalam Latipun (2008) disebut sebagai faktor kuratif. Faktor-faktor kuratif ini terdiri dari:
1. Membina harapan
Membina harapan berarti anggota kelompok merasa optimis terhadap kemajuaanya, atau berpotensial untuk lebih baik melalui konseling kelompok.
2. Universalitas
Universalitas bermakna anggota kelompok mengerti bahwa masalah yang dialami tidak sendirian.
3. Pemberian informasi
Klien (siswa) mendapatkan informasi dan bimbingan dari konselor anggota kelompok lainnya tentang pemecahan masalahnya atau hal-hal lain yang bermakna bagi kebaikan dirinya.
4. Altruisme
Bersamaan dengan keadaannya yang lebih baik dan merasa banyak belajar dari kegiatan konseling kelompok, terus membantu anggota lain mengatasi masalahnya. Oleh karena itu, dia juga mendorong, memberikan komentar dan berpendapat atau memberi nasihat kepada anggota yang lainnya. Merasa dibutuhkan dan dapat diminta bantuan dan menyadari bahwa dirinya dapat mendukung keperluan anggota lainnya.
14
5. Pengulangan korektif keluarga primer
Klien (siswa) menganggap konselor dan ko-konselor sebagai orang tua dan anggota kelompok yang lain sebagai saudara. Klien (siswa) berusaha memperoleh perhatian khusus seperti anak kecil dari konselor dan anggota kelompok lainnya, dan dia belajar mencoba perilaku baru dalam berhubungan dengan orang lain.
6. Pengembangan teknik sosialisasi
Klien (siswa) belajar berhubungan dengan orang lain, termasuk belajar memperoleh umpoan balik dari anggota lain untuk perbaikan dirinya. Sekaligus dia belajar menyelesaikan konflik-konflik, mau mengerti dan memahami orang lain, serta menciptakan rasa tenggang rasa dengan anggota kelompok.
7. Peniruan tingkah laku
Klien (siswa) mengalami sesuatu yang bermakna tentang dirinya melaui observasi terhadap anggota yang lain termasuk konselor. Mengidentifikasi sejumlah tingkah laku baik pada konselor maupun anggota lainnya untuk dicontoh.
8. Belajar menjalin hubungan interpersonal
Klien (siswa) mencoba sesuatu yang baru yaitu dengan cara memulai berperilaku positif dalam berhubungan dengan anggota kelompok, yang dilakukan dengan beberapa hal, diantaranya: mengekspresikan dirinya kepada anggota yang lain untuk menjelaskan hubungan dirinya dengan mereka, atau membuat eksplisit usaha-usaha dalam menjalin hubungan dengan anggota yang lainnya.
9. Kohesivitas kelompok
Klien (siswa) merasa memiliki dan diterima oleh anggota kelompok, secara terus-menerus menjalin kontak dengan anggota kelompok, merasa tidak nyaman jika sendirian. Anggota kelompok akan berusaha untuk berinteraksi, memberi umpan balik, dan membina hubungan dengan anggota lain.
15
10. Katarsis
Klien (siswa) melepaskan perasaannya yang positif maupun yang negatif kepada anggota kelompok lain, yang menyangkut perasaan masa lalunya atau saat ini, mengekspresikan perasaan seperti marah, cintanya, dan kesedihannya, yang mungkin sebelumnya kesulitan atau tidak memungkinkan diungkapkan.
11. Faktor-faktor eksistensial
Klien (siswa) menyadari tentang eksistensi hidup, ada hidup sekaligus kematian, ada dan perlu tanggung jawab, mengurusi hal-hal yang sepele tetapi bermakna bagi kehidupannya, dan kesemuanya itu didiskusikan dengan anggota kelompok yang lain sehingga diperoleh makna hidup.
2.10 Peran Konselor, Ko-Konselor, Dan Klien
2.11.1 Peran konselor
Peran konselor dalam konseling kelompok berperan sebagai pemimpin kelompok. Tugas konselor dalam pemimpin kelompok adalah melakukan pemeliharaan, pemrosesan, penyaluran, dan arahan.
Peran pemeliharaan (providing), berarti konselor berperan sebagai pemelihara hubungan dan ikllim, yang dilakukan sesuai dengan ketrampilannya dalam memberikan: dorongan, semangat, perlindungan, kehangatan, penerimaan, ketulusan, dan perhatian.
Peran pemrosesan (processing), berarti konselor sebagai pihak yang memberi penjelasan makna proses, yang dilakukan sesuai dengan ketrampilannya dalam memberikan eksplanasi, klarifikasi, interpretasi, dan memberikan kerangka kerja untuk perubahan atau mewujudkan perasaan dan pengalamannya ke dalam gagasannya.
Peran penyaluran (catalyzing) adalah peran konselor sebagai pihak mendorong interaksi dan mengekspresikan emosi
16
melalui ketrampilannya dalam menggali perasaan, manantang, mengkonfrontasi, menggunakan program kegiatan seperti pengalaman terstruktur, dan pemberian model.
Peran pengarahan (directing) adalah peran konselor dalam hal mengarahkan proses konseling dengan ketrampilannya dalam membatasi topic, peran, norma, dan tujuan, pengaturan waktu, langkah, menghentikan proses, menengahi, dan menegaskan prosedur.
2.11.2 Peran Ko-Konselor
Ko-konselor adalah orang yang membantu konselor menjalankan perannya sebagai pimpinan kelompok. Adapun peran ko-konselor lainnya, di antaranya sebagai berikut:
1. Membantu konselor mengamati dan mencatat dinamika yang terjadi di kelompok, sehingga lebih dimengerti keadaan kelompok dan anggota-anggotanya.
2. Sebagai model interaksiyang sehat, termasuk model dalam memberikan tanggapan, kritik, atau pengungkapan diri secara tepat.
3. Membantu memperjelas pertanyaanyang dikemukakan oleh konselor.
4. Sebagai model bagi klien (siswa), terutama dalam hal penolakan atau ketidaksetujuannya terhadap perilaku dedustruktif.
Dalam penentuan ko-konselor perlu mempertimbangkan jenis kelamin, pengalaman, dan sikap keterbukaannya. Memilih ko-konselor dari jenis kelamin yang berlawanan dapat mendekatkan suasana konseling kelompok dengan situasi di keluarga.
Pertimbangan pengalaman mempunyai maksud bahwa ko-konselor lebih yunior dibandingkan dengan konselor. Dengan adanya tingkat pengalaman yang berbeda konselor dan ko-
17
konselor, proses konseling dapat lebih baik, karena ko-konselor akan mengikuti mekanisme yang dijalankan konselor.
2.11.3 Peran klien
peran klien (siswa) dalam konseling kelompok, yaitu:
1. Membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok.
2. Mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok.
3. Berusaha agar apa yang dilakukannya itu membantu tercapainya tujuan bersama.
4. Membantu tersusunnya aturan kelompok dan berusaha mematuhinya.
5. Berusaha secara aktif ikut serta dalam seluruh kegiatan kelompok.
6. Berkomunikasi secara terbuka.
7. Berusaha membantu anggota lain.
8. Memberi kesempatan kepada anggota lain untuk menjalankan perannya.
9. Menyadari pentingnya kegiatan kelompok.
2.11 Proses Kelompok dan Perilaku Anggota
Proses kelompok dimaksudkan sebagai gambaran tentang interaksi yang terjadi dan teramati di antara anggota dalam aktivitas konseling kelompok. Biasanya dalam proses kelompok secara bertahap akan terjadi kohesivitasnya, partisipasi, interaksi interpersonal di antara anggota. Dalam konseling kelompok proses-proses tersebut terjadi jika terbentuk saling percaya diantara mereka berkat iklim yang dibangun oleh konselor.
Proses kelompok dapat juga menimbulkan “kejadian-kejadian” interaksional yang tidak diharapkan di antara anggota kelompok, diantaranya sebagai berikut:
18
1. Konflik. Pertentangan antar anggota kelompok dapat terjadi jika ada anggota kelompok yang tidak menerima kritik dan umpan balik dari anggota lain.
2. Kecemasan. Anggota yang memiliki perasaan rendah diri merasa cemas jka harus menyatakan diri secara terbuka di depan anggota lain.
3. Penarikan diri. Sebagian anggota merasa kurang berguna mengikuti konseling kelompok.
4. Tranferensi. Anggota kelompok melimpahkan pengalaman-pengalaman masa lalunya kepada konselor atau kepada anggota kelompok lain.
5. Dominasi. Sebagian anggota kelompok dapat menguasai pembicaraan sementara lainnya tidak diberikan kesempatan untuk berbicara atau memberikan umpan balik.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut konselor berupaya untuk membuat dinamika kelompok berjalan, mengatur pembicaraan, mencegah terjadinya pertentangan antar anggota, dan berusaha agar meningkatkan saling pengertian satu dengan lainnya.
2.12 Interaksi Dalam Kelompok
Interaksi dalam kelompok sangat beragam polanya. Interaksi dapat terjadi seorang memberi perhatian kepada anggota kelompok, seorang anggota memberi perhatian kepada seorang anggota kelompok lain.
Dalam konseling kelompok yang dikembangkan adalah dinamika di mana konselor memberi perhatian kepada semua anggota kelompoknya, demikian pula setiap anggota kelompok (klien) saling memberi perhatian satu sama lain. Dengan demikian pola hubungan yang diciptakan adalah hubungan yang setara sesama klien (anggota kelompok) dan konselor membantu dalam mengelola dinamika kelompok.
19
BAB 3
PENUTUP
3.1 KesimpulanKekurangtahuan siswa terhadap layanan bimbingan dan konseling disekolah, menyebabkan terjadinya kesalahpahaman. Misalnya BK hanya dianggap polisi sekolah. Kesalahpahaman itu menyebabkan siswa tidak dekat dengan guru BK. Ketidakdekatan itu membuat siswa yang mempunyai masalah merasa malu dan takut untuk menceritakan masalahnya kepada guru BK seorang diri. Oleh karena itu dengan pengenalan layanan konseling kelompok diharapkan dapat mengurangi rasa malu dan takut itu dapat dihilangkan.
Layanan konseling kelompok juga memberikan banyak manfaat. Dinamika interaksi sosial yang intensif terjadi dalam suasana kelompok akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan ketrampilan sosial pada umumnya, meningkatkan kemampuan pengendalian diri, tenggang rasa, serta layanan konseling kelompok dapat merupakan wilayah penjajagan awal bagi siswa untuk memasuki layanan konseling perorangan.
3.2 Saran
Membuat siwa mengungkapkan permasalahannya merupakan bukan sesuatu yang mudah. Untuk itu seorang konselor hendaknya lebih memahami karakteristik dan kebutuhan siswanya.
20
DAFTAR PUSTAKA
Latipun. 2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press.
Lesmana, Jeanette Murad. 2005. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta. UI Press.
Mugiarso, Heru, dkk. 2009. Bimbingan dan Konseling. Semarang. UNNES Press.
Prayitno dan Amti, Erman. 1999. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Rabichow, H. & Sklansky, M. 1980. Effective Counseling of Adolescents. Chicago: Follett.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar