Minggu, 23 Oktober 2011

PERMASALAHAN BK





PERMASALAHAN BK

PAPER
Disusun guna memenuhi tugas individu
Mata kuliah  Survey Permasalahan BK
Dosen Pengampu Dra. Maria Theresia Sri Hartati
Prof. Dr. DYP. Sugiharto, M.Pd




oleh
Mugi Lestari
1301409019


JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011



PERMASALAHAN BK

A.    Hakekat Permasalahan BK
Pada hakekatnya masalah secara umum  menunjuk pada adanya kesenjangan antara keadaan sekaran (pencapaian) dengan tujuan. Dalam penelitian mengacu pada fokus yang dipandang belum selesai dalam tataran teoritik dan praktik atau lebih seringnya dikatakan bahwa adanya kesenjanan antara teori dan praktik (kenyataan) dan memerlukan penyelesaisan (Sugiharto & Mulawarman, 2007: 8).
Hakekat masalah jika dikaitkan dengan konseling menurut Mappiare dalam Sugiharto & Mulawarman (2007: 8) masalah adalah kesenjangan antara kondisi sekarang individu dengan apa yang diharapkan individu atau lingkungannya dan di dalamnya terdapat hambatan untuk mencapai tujuan.
Masalah adalah hasil dari kesadaran bahwa kondisi yg sekarang terjadi belumlah sempurna dan keyakinan bahwa masa depan bisa dibuat jadi lebih baik (Purwanto, 2010).
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permasalahan BK merupakan kesenjangan antara kondisi dalam tataran teoritik BK dengan praktik BK di lapangan yang memerlukan adanya penyelesaian.

B.     Isu-Isu yang Timbul di Lapangan
Adapun isu-isu atau problematika BK di lapangan , yaitu:
1.      Menurut Setyafi dkk (2008) yaitu permasalahan BK di sekolah dalam tinjauan teori strukturasi
Struktur dapat berupa nilai, ide atau gagasan yang dimiliki oleh individu. Permasalahan yang paling tampak dalam sistem BK di sekolah adalah perbedaan nilai antara kepala sekolah dan konselor dalam mengartikan fungsi dan peran konselor di sekolah. Saat ini masih banyak kepala sekolah yang belum mengetahui dan memahami fungsi dan peran konselor sebagaimana mestinya. Sebagian diantara mereka mengira bahwa tugas konselor berkenaan dengan mengatasi semua siswa yang bermasalah termasuk sebagai petugas tata tertib, sehingga kepala sekolah menugaskan konselor sebagai petugas tata tertib, termasuk memberikan hukuman atau sanksi kepada siswa yang melanggar tata tertib. Nilai yang menganggap bahwa konselor adalah petugas tata tertib dan menangani siswa yang bermasalah tersebut tentu saja berbeda dengan nilai yang dimiliki konselor. Dimana tugas dan fungsi konselor sebenarnya adalah fasilitator yang membantu siswa untuk berkembang secara optimal dan membantu siswa mengatasi masalah-masalah yang berkaitan dengan tugas-tugas perkembangannya, konselor bukanlah petugas tata tertib yang menghukum siswa. Perbedaan nilai inilah yang menghambat konselor berperan sesuai dengan fungsi dan tugas yang sebenarnya di sekolah. Bahkan konselor diberikan tugas yang berlawanan dengan fungsi dan peran yang sebenarnya.
a.       Bimbingan dan konseling disamakan saja dengan atau dipisahkan sama sekali dari pendidikan.
Latar belakang: Ada dua pendapat yang berbeda kaitannya dengan pelaksanaan bimbingan dan konseling.
·         Bahwa bimbingan dan konseling sama saja dengan pendidikan. Jadi dengan sendirinya sudah termasuk ke dalam usaha sekolah yang menyelenggararakan pendidikan. Sekolah tidak perlu bersusah payah menyelenggarakan bimbingan dan konseling secara mantap dan mandiri. Pendapat ini cenderung mengutamakan pengajaran dan mengabaikan aspek-aspek lain dari pendidikan dan sama sekali tidak melihat pentingnya bimbingan dan konseling.
·         Bimbingan dan konseling harus benar-benar dilaksanakan secara khusus oleh tenaga ahli dengan perlengkapan yang benar-benar memenuhi syarat. Pelayanan ini harus secara nyata dibedakan dari praktek pendidikan sehari-hari.
b.      Konselor di sekolah dianggap sebagai polisi sekolah
Latar belakang: masih banyak anggapan bahwa peranan konselor di sekolah adalah sebagai polisi sekolah yang harus menjaga dan mempertahankan tata tertib, disiplin, dan keamanan sekolah. Anggapan ini mengatakan ”barangsiapa diantara siswa-siswa melanggar peraturan dan disiplin sekolah harus berurusan dengan konselor”.
c.       Bimbingan dan konseling dianggap semata-mata sebagai proses pemberian nasehat
Latar belakang: pelayanan bimbingan dan konseling menyangkut seluruh kepentingan klien dalam rangka pengembangan pribadi klien secara optimal. Disamping memerlukan pemberian nasehat, pada umumnya klien sesuai dengan problem yang dialaminya, memerlukan pula pelayanan lain seperti pembrian informasi, penempatan dan penyaluran, konseling, bimbingan belajar, pengalih tangan kepada petugas yang lebih ahli dan berwenang, layanan kepada orang tua siswa dan masayarakat, dan sebagainya.
d.      Bimbingan dan konseling di anggap hanya melayani “orang sakit” dan/atau “kurang normal”
Latar belakang: ada asumsi bahwa bimbingan konseling hanya melayani orang-orang normal yang mengalami masalah tertentu.
e.       Bimbingan dan konseling dibatasi hanya untuk klien-kliean tertentu saja.
Latar belakang:yang melatarbelakangi problema tersebut adalah bahwa biasanya yang datang di ruang BK adalah anak-anak yang diapnggil kerena bermasalah.
f.       Bimbingan dan konseling bekerja sendiri
Latar belakang:pandangan guru-guru mata pelajaran yang kurang paham pada prinsip BK Perkembangan bahwa guru BK dan guru mata pelajaran merupakan fungsionaris bersama dalam membantu siswa menyelesaikan masalahnya.
g.      Konselor harus aktif, sedangkan pihak lain pasif
Latar belakang: latar belakang problema tersebut karena para konselor di sekolah dalam prakteknya lebih memberikan nasehat-nasehat kepada siswanya karena konselor kurang memahami potensi yang dimiliki siswa.
h.      Bimbingan dan konseling berpusat pada keluhan pertama saja
Latar belakang: pada umumnya usaha pemberian bantuan memang diawali dengan melihat gejala-gejala dan atau keluhan awal yang disampaikan oleh klien. Namun demikian, jika pembahasan masalah itu dilanjutkan, didalami, dan dikembangkan, seringkali ternyata bahwa masalah yang sebenarnya lebih jauh, lebih luas dan lebih pelik apa yang sekedar tampak atau disampaikan itu. Bahkan kadang– kadang masalah yang sebenarnya, sama sekali lain daripada yang tampak atau dikemukakan itu.
3.      Problematika BK di sekolah terkait dengan sekolah-sekolah tidak memiliki paradigma yang tunggal terhadap BK dalam http://dc340.4shared.com/doc/PlMjCDLp/preview.html. Berikut pembagian sekolah terkait dengan permasalahan BK:
a.       sekolah yang sadar akan kedudukan BK dalam pembentukan pribadi siswa, tetapi tidak didukung oleh materi, tenaga dan yayasan (swasta) atau pemerintah (negeri). Keberadaan BK di sekolah ini antara ada dan tiada, hidup segan mati tak mau. Di sekolah kategori ini semua konsep ke BK-an hanya tinggal dalam angan-angan. Untuk membangun manajemen BK di sekolah ini butuh tenaga ekstra.
b.      Sekolah yang masih menerapkan manajemen BK jadul. Guru BK masih dianggap sebagai polisi sekolah, hanya menangani orang yang bermasalah. Sekolah ini cenderung tidak terbuka terhadap perkembangan ilmu BK dan tidak melihat fungsi BK dalam pembentukan pribadi siswa. Guru BK masih ditempatkan sebagai pelengkap dalam proses pendidikan anak, bukan sebagai rekan tenaga pengajar. Bahkan ironisnya, yang menjadi guru BK bukan lulusan Bimbingan dan Konseling. Sekolah ini anti perubahan.
c.       Sekolah yang belum memiliki manajemen BK. Penyembanya, bisa karena belum ada tenaga, atau tidak ada yang tahu sehingga tidak ada yang memulau, atau bisa juga karena masalah financial, atau menganggap tidak perlu. Biasanya sekolah kategori ini terdapat di kecamatan atau sekolah anak tidak mampu.
4.      Problematika yang berikut ini menurut pengakuan dari Galih (Mahasiswa BK angkatan 2008) yang sedang PPL di sekolah Taruna Nusantara, bahwa terjadi kesalahpahaman terhadap layanan-layanan BK, seperti:
a.       Layanan konseling individu yang di anggap sebagai layanan konsultasi
b.      Layanan bimbingan kelompok yang di anggap sebagai forum.





DAFTAR PUSTAKA

Sugiharto, DYP & Mulawarman. 2007. Psikologi Konseling. FIP. UNNES

Purwanto, Herli. 2010. Pengertian Masalah, Ciri-Ciri Masalah dan Masalah yang dapat di angkat dalam Studi Kasus. Paper Universitas Negeri Semarang.


http://dc340.4shared.com/doc/PlMjCDLp/preview.html. Diunduh tanggal 26 September 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar